Selasa, 11 Agustus 2009

Penggunaan Laptop Pada Remaja Autis

Saat ini perkembangan teknologi sudah sangat pesat. setiap orang menggunakan kecanggihan teknologi, tak terkecuali para pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta. Setiap pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta sudah dapat mengoperasikan computer maupun notebook (laptop). Buku catatan bergaris sepertinya sudah jarang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Demikian pula denga para pelajar di SLB Fredofios Yogyakarta. Para siswa disana merupakan penyandang autis, gangguan komunikasi dan gangguan belajar yang berusia 8 – 23 tahun. Salah satu program di sekolah ini adalah Program IpTek, dengan pembelajaran computer. Baik computer program office maupun design.

Pada remaja penyandang autis memiliki keterbatasan dalam motorik. Anak autis seringkali mengalami terlambat berjalan, terlambat bicara, dan adanya gangguan dalam persepsi sensorik. Misalnya suka mencium-cium, menggigit atau menjilati mainan atau benda apapun, bila mendengar suara keras akan tutup telinga, tidak menyukai rabaan atau pelukan, merasa risih jika berjalan di lantai yang kasar ataupun tanah, merasa risih jika menyentuh benda yang bertekstur, tidak dapat mengontrol otot pada saat menulis atau menggambar.

Salah satu siswa SLB Fredofios, memiliki gangguan persepsi sensorik. Ia akan segera mengeringkan tangannya saat terkena air. Ia juga tidak dapat mengontrol kuat – lemahnya otot tangan ketika menulis, sehingga pada saat menulis dengan pensil biasanya ia akan sering meraut pensilnya karena berkali-kali pensilnya patah. Kemudian setelah dikenalkan dengan pulpen, ia sering mengulang-ulang menulis huruf (ditebalkan) dan ditekan hingga kadang-kadang kertas menjadi sobek/berlubang. Selain itu, tulisannya juga kurang rapi, hurufnya besar-besar sehingga jadi susah dibaca. Meskipun begitu, ia sangat mahir bermain keyboard, mencari notasi lagu yang ia sukai dengan mandiri. Ia juga senang menyusun puzzle 1000 keping berjam-jam dan berhari-hari di waktu luangnya. Pada saat melukis dengan kuas dan cat, ia juga kurang dapat mengontrol tangannya memencet tube cat sehingga seringkali cat banyak terbuang. Juga ketika menyapukan kuasnya pada kanvas, ia seringkali menekan dengan kuat. Namun demikian, lukisannya pernah terjual pada saat pameran lukisan.
Ia juga dapat mengoperasikan computer dengan baik, baik mengetik maupun menggambar. Penggunaan mouse pada computer juga sangat lancar. Sehingga pada saat ini ia mulai dikenalkan penggunaan laptop pada setiap pelajaran di sekolah. Ia tidak perlu lagi menulis dengan waktu yang lama. Kecepatannya mengetik justru menjadikan pelajaran lebih efektif.

Minggu, 05 Juli 2009

Festival Remaja Autis dan Handicapped Communication Persons ; Mei 2009



Hari Sabtu dan Minggu, tanggal 2 - 3 Mei 2009, diadakan Festival Remaja Autis dan Handicapped Comunication Persons di Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Aku ikut serta dalam kepanitiaan, karena penyelenggaranya sekolah tempat aku bekerja. Alasan mengapa diadakan di Fakultas peternakan UGM karena ketua panitia sekaligus ketua yayasan dan salah satu orang tua siswa, Ir. Bugi Rustamadji, MSc, bekerja sebagai dosen disana. Beberapa mahasiswa magang dan teman-teman ikut juga terlibat sebagai panitia.

Beberapa sekolah dan lembaga bagi remaja berkebutuhan khusus ikut serta berpartisipasi mengisi gerai/stand memberikan informasi mengenai organisasi mereka. Selain itu juga terpajang beberapa hasil karya siswa yang merupakan remaja autis. Sekolah/lembaga tersebut yaitu Kasih Bunda Cibubur Jakarta, Kubca Samakta Bandung, SLB Arya Satya Hati Pasuruan, Cita Hati Sidoarjo, Finger Print Jakarta, Lembaga Home Schooling Medan, dan SLB Autis Fredofios sekolah tempat aku bekerja.

Beberapa stand produk juga turut berpartisipasi, yaitu Batik Juwita, Buku Edukasi Syaiful Haq, dan Permainan Edukasi. Sedangkan stand makanan dan minuman hanya ada satu, dari salah satu orangtua siswa SLb Autis Fredofios, karena beliau juga terlibat dalam kepanitiaan.

Pada hari Jumat siang, aku dan teman-teman prepare di lokasi. Tenda-tenda sudah terpasang, juga meja dan kursi untuk stand. Mita dan Nadine, mahasiswa Psikologi UGM yang kebetulan menjadi sukarelawan sibuk mendisplay ruang pameran lukisan dan puzzle karya siswa SLB AutisFredofios. Sedangkan Pak Catur, mendekor ruang auditorium di lantai atas. Aku, dibantu Sam, Apri dan Della menata meja dan kursi untuk stand SLB Autis Fredofios. Apri dan Sam juga sukarelawan yang sering terlibat dalam event sekolah.

Pagi harinya jam 07.00 WIB aku mulai menghias stand SLB Autis Fredofios dengan berbagai hasil karya siswa, hasil karya para guru (salah satunya kambing Pak Catur), dan profil organisasi serta foto-foto guru dan siswa. Para tamu undangan yang mengisi stand juga sudah berdatangan dan menghias stand masing-masing.

Melalui ajang ini kami dapat bertemu dengan para guru dan terapis dari sekolah/lembaga lain. Sehingga kami dapat saling bertukar informasi, sharing pengalaman dan menambah jaringan kerja. Itulah salah satu tujuan diadakannya kegiatan Festival.
Para pengunjung mulai berdatangan pada pukul 08.00 WIB, mereka adalah para guru, terapis, orangtua, mahasiswa dan masyarakat umum, yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Ada yang datang berombongan dari sekolah dan lembaga di Solo, ada pula yang datang sendiri sebagai utusan sekolah di Bandung dan dari Semarang. Banyak orangtua dari ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) juga hadir, ada yang berasal dari Purworejo, bahkan Pontianak. Mereka juga merupakan kenalan dari sekolah/lembaga yang merupakan jaringan kerja dari SLB Autis Fredofios.
Beberapa mahasiswa Fakultas peternakan juga dilibatkan sebagai MC di pusat informasi. Selain mereka, ada juga mahasiswa dari akademi keperawatan yang berkunjung. Namun, teman-teman dari SLB Autis dan SLB-SLB negeri di Yogyakarta hanya sedikit yang datang. Ibu Mus, guru dari SLB negeri Bintaran selalu hadir dalam setiap event sekolahku. Beliau merupakan pembimbingku ketika aku mengadakan penelitian tentang guru SLB saat aku kuliah S1. Sekarang beliau menjadi teman seprofesi dan kami saling sharing pengalaman belajar dan mengajar siswa autis.
Acara yang kami susun cukup mengundang banyak orang datang memenuhi kursi di auditorium. Acara tersebut yaitu Pendidikan Remaja Autis, Home Schooling, sharing orangtua dan pentas seni siswa. Pada saat pentas seni siswa, aku sedikit memberi penjelasan pada pengunjung Festival cara mengajarkan kesenian pada remaja autis. Banyak pengunjung yang kagum dengan para siswa yang dapat membaca puisi, menari dan fashion show. Salah satu cara yaitu dengan terapi gerak dan musik, seta kreasi seni. Dalam mengajar aku dibantu oleh Pak Catur dan Della, sehingga kami dapat menampilkan bakat para siswa dalam acara tersebut.

Mr. Fred Vrugteveen, konsultan pendidikan autis dari Belanda menjadi magnet tersendiri bagi acara ini sehingga acara ini berlangsung dengan sukses.
Festival ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang peduli pada pendidikan autis, dan remaja autis. Banyak hal yang diperoleh melalui Festival ini, sehingga kegiatan ini akan diselenggarakan lebih sering dan tidak hanya di Yogyakarta tapi di kota-kota lain juga. Mr. Fred yang merupakan sukarelawan ini mengatakan bahwa di Belanda sering diadakan Festival Autis dan beliau sudah sangat berpengalaman mengadakan kegiatan ini. Sehingga beliau juga terlibat dalam kepanitiaan dan menjadi line untuk menyebarluaskan informasi melalui jaringannya.

Pada hari kedua, Minggu 3 Mei 2009, ada dialog interaktif dengan guru-guru, dan juga siswa. Pagi itu aku menceritakan pengalamanku, suka dan duka selama menjadi guru bagi remaja autis.
Acara pada hari kedua, sharing sibling (saudara dari remaja autis), sharing sekolah/lembaga, sharing orangtua dan juga demonstrasi terapi gerak dan musik serta make up yang dilakukan oleh para siswa. Pada pelajaran bina diri, aku mengajar make up wajah pada salah satu siswaku, Mutia. Ia sangat senang pada kecantikan dan fashion, sehingga pada acara tersebut, aku berani menampilkan Mutia. Salah satu guru dari Sidoarjo dengan sukarela dirias wajahnya oleh Mutia. Selain itu, aku juga memperagakan Terapi Gerak dan Musik dibantu Della. Terapi ini aku pelajari sejak tahun 2006 lalu ketika Jenny sukarelawan dari Inggris membantu di sekolah tempat aku berkerja. Setelah Jenny habis masa kontraknya, akupun dipercaya oleh Kepala Sekolah untuk mengajar terapi pada para siswa.

Festival berakhir pada hari Minggu sore. Beberapa guru dan orangtua sepertinya enggan segera pulang, mereka masih ingin sharing dengan aku dan teman-teman. Beberapa teman juga menanyakan tentang t-shirt yang dipakai panitia. Tapi sayang, kami tidak membuat dalam jumlah banyak. Buku-buku, kurikulum, dan kumpulan materi dari seminar, workshop, lokakarya dan pelatihan yang pernah kami selenggarakan mulai dari tahun 2004 - 2007, laris terjual dan banyak juga yang memesannya.

Rabu, 01 Juli 2009

Pada Tepian Sungai







Aku melangkahkan kaki dalam balutan kebaya putih dan indahnya kain jarik. Sendiri menapaki tanah Jawa yang masih basah oleh embun pagi. Ketika kegalauan hati mendera jiwaku. Gemerisik bambu menyapaku saat aku sampai pada tepian sungai. Burung-burung masih berkicau dan terselamatkan dari kepunahan. Sejenak kuhirup sejuknya pagi. Teringat kisah-kisah petani dan anaknya, simbok-simbok membawa bakul, gadis-gadis mandi di sungai, dan kupu-kupu beterbangan diantara harumnya bunga pada tepian sungai. Tak kulihat pemandangan seperti itu. Namun yang kulihat seorang laki-laki tua membawa keranjang dan ember sedang berendam di sungai. Laki-laki itu dengan sekuat tenaga mengeruk pasir dan membawanya ke tepian. Lalu pasir itu ia saring, ia pisahkan pasir yang halus dari batu-batu. Kemudian batu itu ia panggul ke atas tebing, disanalah ia memecahkannya dan menunggu seseorang untuk membelinya. Begitu juga dengan pasir yang ia kumpulkan. Begitulah ia, demi menyekolahkan anak-anaknya. Dengan tubuh yang sudah renta ia masih tetap semangat.
Aku berjalan pelan, tangan kananku memegang ujung kain jarik, dan tangan kiriku membawa sampur. Sampur merah pemberian seorang ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Beliau sangat baik padaku. Sampur merah itu selalu menemani saat aku berlatih menari tarian klasik di perguruan tari Siswa Among Beksa di dekat Kraton Yogyakarta.
Aku berhenti di tepi sungai. Senyum menebar di wajahku ketika melihat beningnya air. Batu-batu menyembul dilewati oleh air yang tenang dan dingin. Sejenak aku duduk menikmati hawa sejuk, gemericik air terjun di belakangku dan teringat masa kecilku. Saat itu aku gemar bermain di alam. Memanjat pohon, mencari ikan di sungai, mencari udang di balik batu, bermain di sawah yang hijau, bercanda di gubuk, berlarian di lumpur saat musim panen tiba, makan nasi serta gudangan dan teri sebagai wujud rasa syukur petani saat akan panen, bahkan sampai mandi di sungai bersama teman-teman dan saudara-saudaraku. Hingga aku beranjak dewasa, tepian sungai itu masih menjadi kenangan dan tempat untukku menyepi dari segala kepenatan hidup.
Aku masih di tepian sungai, membaca hati. Terdiam dan merenung. Lalu kuhirup dalam-dalam dan ku beranjak. Alunan gending Jawa terngiang di telingaku. Aku berjalan, kuangkat kain jarikku untuk menyusuri sungai, dingin membasahi kakiku. Batu-batu kecil menusuk telapak kakiku. Dan aku berdiri di atas batu besar yang entah dari mana datangnya. Sementara air terjun terus mengalir mengiringiku. Aku tatap langit, kemanakah awan itu pergi? Birunya tak lagi seperti dulu, ketika rumah masih bambu, sepeda masih beriringan, dan nasi dibungkus dengan daun pisang. Akankah anakku nanti masih dapat melakukan hal yang sama ketika aku kecil dulu? Akankah cucuku nanti masih dapat menikmati mandi di sungai? Apa yang akan terjadi 50 tahun lagi?
Entahlah...
Aku masih di atas batu besar, menikmati kesejukan pagi, dalam keheningan jiwaku.
Dan gerakan-gerakan tariankupun menembus udara, alunan gending dan tembang laki-laki tua terdengar dari radionya.

Kamis, 05 Maret 2009

Perempuan-perempuan Hebat


HARI PEREMPUAN
8 MARET 2009


Hari ini aku bertemu dengan tiga orang perempuan. Mereka datang dengan mengendarai mobil.Dua orang dari mereka berasal dai Semarang dan seorang lagi tinggal di Yogyakarta. Mereka ingin sharing mengenai sekolah tempatku bekerja. Dan salah satu dari ibu itu membawa cerita tentang anaknya yang dicurigai menyandang autis. Usia anaknya baru tiga setengah tahun. Namun, empat orang psikolog dan psikiater memberikan diagnosa yang berbeda-beda pada anaknya.
Seorang ibu, berada dalam ruangan yang berwarna abu-abu, semua terasa tidak jelas. Dia juga tidak tahu harus bertanya kemana, pada siapa, dan banyak komentar dan nasehat supaya dia tenang. “Ah, anakmu tidak apa-apa. Anakmu hanya terlambat bicara, tiap anak beda-beda. Nggak apa-apa. Nggak usah khawatir.”
Dia menyadari, anaknya berbeda dengan anak-anak yang lain ketika sang bayi berusia 8 bulan. Pertumbuhannya tidak ada masalah, tetapi anaknya terlambat berbicara dan beberapa tahap perkembangan tidak dilaluinya. Ia mencoba menentramkan hatinya sendiri, menepis pikiran-pikirannya tentang kecurigaan dia bahwa buah hatinya mengalami gangguan perkembangan. Play grup sebagai tempat bermain dan bersosialisasi bagi anak-anak telah dilalui sang buah hati. Hingga gurunya mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup mendidik anak itu.
Seorang ibu, penuh harapan pada anaknya, pada buah hatinya yang dikandungnya selama 9 bulan. Tentu saja ia sangat bahagia ketika anak itu lahir ke dunia, lucu, putih, imut-imut, bersih tanpa dosa. Dan kini anak itu di diagnosa sebagai penyandang autis.
“Bagaimana anakmu?”
Pertanyaan itu terus mengusik hati ibu itu. Berbagai usaha ia lakukan untuk anaknya, mencari seorang ahli, mencari informasi, buku-buku, klinik, pusat terapi, sekolah, demi kemajuan buah hatinya. Seorang ibu tidak akan merasa lelah demi buah hatinya yang saat ini telah menjalani terapi dan pernah berpindah-pindah tempat terapi. Karena kegelisahan seorang ibu yang melihat anaknya belum mengalami kemajuan perkembangan yang berarti.
Hingga ia bertemu denganku. Dan bercerita tentang semua kegelisahannya.
"Saat ini anak saya menjalani terapi di Klaten. Dia sudah bisa memakai celana sendiri, kalau ada tamu ia mau berjabat tangan dan menyapa. Kalau dulu cuek jika dipanggil, tapi sekarang dia sudah bisa menjawab kalau dipanggil."
Ada harapan terpancar dari wajahnya ketika ia menceritakan perkembangan anaknya. Apalagi ketika ia melihat para siswa di sekolahku yang merupakan remaja penyandang autis. Dan ketika melihat begitu banyak karya dari remaja autis, ia semakin yakin bahwa buah hatinya mempunyai harapan untuk maju dan berkembang.
Aku yakin, ia akan terus berjuang demi anaknya. Ia punya kekuatan dan kekuatan itu adalah cinta. Bagaimanapun kondisi anaknya, ia menerima dengan besar hati, hingga ia berhasil mengantar anaknya menuju kehidupan yang diimpikannya bersama keluarganya.
Masih teramat panjang jalan yang harus ia tempuh bersama keluarga dan buah hatinya. Ia masih harus melalui masa-masa sulit ketika si buah hati beranjak menjadi seorang anak, menjadi remaja dan menjadi orang dewasa.

Ibu dari penyandang autis, ibu dari penyandang down sindrom, ibu dari penyandang ADHD, ibu dari penyandang tunarungu, ibu dari penyandang tunagrahita, ibu dari penyandang tunadaksa, ibu dari penyandang tunaganda, ibu dari penyandang tunanetra, semua ibu dari orang-orang diffable adalah perempuan-perempuan hebat. Sama dengan ibu-ibu dari anak-anak berbakat dan anak-anak yang ada di seluruh dunia ini. Mereka mempunyai kesabaran, ketabahan, kebijaksanaan, keteduhan, kasih sayang, cinta, penerimaan, kejujuran, perlindungan, kelembutan dan keajaiban.

Mural 1001 Tong Sampah

Mural 1001 Tong Sampah ;
Remaja Autis Peduli Lingkungan

Eeh siapa bilang para remaja diffble nggak peduli sama lingkungan????

Mereka malah lebih peduli lho daripada orang-orang normal yang sukanya buang sampah sembarangan, memakai air berlebihan, dan perusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana terjadi di bumi Indonesia. Remaja Diffble di Fredofios peduli banget dan amat sangat menjaga kebersihan lingkungan mereka. Misalnya saja Osi, Opiq, Ivan, Todi, Tia dan Dian, mereka selalu membuang sampah di kerangjang/tong/tempat sampah. Dimanapun mereka berada jika selesai makan atau minum sesuatu, pasti akan mencari tempat sampah untuk membuang bungkus makanan/minumannya. Apalagi Niko, eks siswa Fredofios, ia sangat peduli sama kebersihan, buktinya tiap kali ada mobil pengangkut sampah akan lewat Fredofios, ia sudah mendengar duluan padahal jaraknya masih jauh banget. Guru-gurunya aja belum mendengar suara mesin mobil sampah itu. Tapi Niko udah mendengar suara khas yang dihasilkan dari mobil sampah itu. Dia buru-buru mengambil semua tempat sampah yang ada di sekolah, secara bergantian ia keluarkan dari sekolah dan dibawa ke dekat pintu gerbang supaya petugas sampah mengambilnya. Tidak puas hanya dengan sampah-sampah di fredofios, ia masih mengikuti mobil sampah itu dan memunguti sampah-sampah yang ada di pinggir jalan Indragiri sekitar gedung sekolah dan rumah-rumah penduduk. Jika ia melihat sampah menumpuk di halaman orang, iapun ingin segera membakarnya. Hmm…patut ditiru tuh kebiasaan Niko. Meski dia tergolong remaja autis, tapi dia sangat peduli dengan kebersihan lingkungannya.

Lain lagi dengan Osi, saat istirahat, Osi selalu membuangkan bungkus makanan/minuman milik teman-temannya. Karena kebiasaannya itu, maka lama kelamaan teman-temannya justru memberikan bungkus makanan/minumannya pada Osi kemudian Osipun membuangnya di tempat sampah. Osi juga sangat hemat air, ia selalu memenuhi baik kamar mandi, jika sudah penuh maka ia segera mematikan kran. Begitu juga jika ada lampu yang menyala padahal ruangan itu nggak dipakai, Osi langsung aja mematikan lampu itu.

Opiq, suatu saat jalan-jalan ke mall, setelah selesai makan es krim, ia menyeka mulutnya pakai tissue. Lalu ia bilang, “Opiq buang tissue.” Dan mencari tempat sampah. Begitu juga dengan Ivan, siang itu Ivan ikut Mural 1001 tong sampah yang diadakan oleh Desain Interior seluruh Indonesia. Ivan ditemani dua orang temannya, Mutia dan Todi juga para guru-guru yang semangat mendaftarkan mereka untuk ikut Mural tersebut.

Dari rumah Ivan sudah dibekali berbagai macam snack dan minuman. Kami berangkat dari sekolah naik mobil milik keluarga Mutia, diantar supir menuju ke Benteng Vredeburg yang letaknya nggak jauh dari Malioboro. Sampai disana, Ivan langsung membuka bungkus kacang kulit dan makan sendiri, nggak nawarin ke teman dan gurunya. He he he…Selesai makan Ivan bingung ingin membuang bungkus kacangnya. Disuruh menyimpan bungkus di tas Ivan nggak mau, akhirnya mau nggak mau Bu Della dan Ivan keliling kompleks Benteng mencari tempat sampah. Eh padahal banyak tong sampah lho disitu, tapi…buat acara mural. He he he…
Akhirnya ketemu juga tempah sampah yang dicari dan …blung…bungkusnya masuk deh! Ivanpun puas dan ikut menjaga kebersihan. Hebat kan???

Tongpun segera diambil sama Pak Catur dan Pak Samsul, didalamnya sudah terdapat cat akrilik warna merah, kuning, biru, hitam dan putih, gelas plastik untuk tempat cat dan Koran bekas untuk alas melukis mural tong sampah. Cukup mendaftar Rp. 20.000, semua orang dari segala lapisan masyarakat, tua – muda, siswa – mahasiswa, seniman, tukang becak, penjual, pengamen, guru, penyandang autis, boleh mengikuti acara ini.

Kamis, 26 Februari 2009 jam 09.00 – 17.00 WIB di halaman dan sepanjang jalan di dalam Benteng Vredeburg acara Mural diadakan. Selain Mural, ada workshop, pameran, seminar dan menghadirkan bintang tamu Dik Doank dari Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Mahasiswa Desain Interior ISI seluruh Indonesia. Ternyata banyak banget peserta yang ikut. Suasananya juga ramai karena ada panggung terbuka dan Dik Doank menyanyi sambil bermain gitar.

Tiba-tiba panitia mendekati tempat kami menunggu acara dimulai, mereka membawa setumpuk Koran yang akan dibagikan pada peserta. Ivan jadi gatel tangannya untuk mengambil Koran-koran itu dan mencari gambar-gambar partai politik. Bu Della melarangnya, dan Ivanpun mulai “gelisah.” Aduuh…bisa-bisa Ivan ngambek nggak mau menggambar dan ikut mural deeh. Gimana ya caranya??? Hmm, guru-guru cepat-cepat cari akal. Mikir…mikir…ting…ada ide, kita harus menjauhkan Ivan dari mereka. Ayo pindaaah….Ivanpun digandeng dan sedikit ditarik supaya menjauh.

Kami memilih tempat yang teduh biar nggak kepanasan, tadinya mau dibawah pohon rindang tapi dekat sama stand makanan dan minuman, akhirnya pindah agak menjauh dari stand-stand itu karena khawatir Ivan minta jajan.
Sebelum mulai, Todi dan Tia sempat berfoto bersama Dik Doank. Awalnya Dik Doank nggak mau foto, dia bilang,”Nanti aja, melukis dulu ya.”
Tapi Todi nggak kalah pintar, lihat aja jawabannya, “Lho kan belum mulai melukisnya.” Hehehe…Dik Doank nggak bisa berkata apa-apa lagi dan “Klik.” dengan kamera Hp Todi dan Tia berfoto bersama Dik Doank.

Ternyata Ivan masih memikirkan setumpuk Koran-koran yang dibawa panitia. Belum selesai satu masalah, Ivan sudah merengek minta Es Teler. Aduuh…Ivan, lihat Mbak Tia dan Todi udah mulai membersihkan tong dari kertas-kertas yang menempel di tong. Lihat teman-teman yang lain, dari SMP dan SMU umum, mereka udah mulai mengecat dan melukisi tong mereka. Ayo Ivan…
Hmmm, ternyata Ivan tetap nggak mau melukis. Akhirnya Pak Agung menjajikan untuk membelikan Koran KR, Ivan udah senang banget tuh dan menunggu Pak Agung. Setelah ditunggu, ternyata Pak Agung kembali dan nggak membawa Koran yang dijanjikannya. Hallo Pak Agung…mana janjinya buat Ivan?? Eh kok malah Koran lain yang dibawa dan nggak ada gambar partai seperti yang diinginkan Ivan.
“Huuu…aaa…” kata Ivan. Ivanpun merengek dan nggak peduli dengan orang-orang disekitarnya. Akhirnya Pak Agung pergi lagi mencarikan Koran KR buat Ivan. Dan cling…setelah dapat Koran yang diinginkan, Ivan kembali ceria, dan mau menggambari tongnya dengan gambar tugu, peta dunia dan lambang-lambang kabupaten.
Sementara Tia menggambari tongnya dengan gambar orang-orang di taman, dan Todi asyik menggambari tongnya dengan jalan raya dan papan-papan iklan.

“Pak Catur, emang Todi bisa?” Bu Dessi, mama Todi sempat meragukan Todi. Karena selama ini Bu Dessy nggak pernah lihat hasil karya Todi. Wah Bu Dessy juga ikut semangat neh menemani kami sampai selesai. Malah jadi sponsor utama juga, membelikan makan siang buat kami. Makasih Bu Dessy…. J

Tiba-tiba Ivan berubah idenya, Tugu yang tadinya udah digambar Ivan, ia timpa dengan cat warna merah dan putih, gara-gara lihat teman dari SMP 4 melukis langsung dengan cat. Dan apa yang digambar Ivan? Wah…logo sebuah stasiun swasta…Ayo Van semangat!!! Eeh belum selesai melukis, Ivan kembali merengek minta Es Teller. Nggak konsentrasi lagi deh. Okey deh Van, ayo beli es teller. Bu Dewi dan Mbak Nadin menggandeng Ivan menuju ke stand makanan dan minuman melewati kerumunan peserta mural yang sedang asyik melukis tong sampah. Ivan segera memesan es teller dan bakso. Ternyata kamu lapar juga ya Van? Tapi Bu Dewi nggak kalah cerdik sama Ivan, Bu Dewi minta Ivan untuk berjanji akan melukis lagi setelah makan dan minum. Dan benar…Ivan semangat melukis lagi dan mampu bertahan sampai jam 2 siang ditengah-tengah keramaian Mural Tong Sampah. Hebat kamu Van!!!

Tapi ada peristiwa lucu dan unik disela-sela Ivan melukis, Ivan yang dibantu Bu Della, sempat istirahat dan tengkurap di kursi taman, nggak peduli sama orang-orang disekitarnya. Setelah itu bilang “E’ek.” Dan mau nggak mau guru pendamping Ivan harus rela mengantar Ivan ke toilet. Nggak Cuma itu, Ivan mengajak pulang juga, padahal belum dijemput sama Pak Bowo supir Tia. Pak Agung mencoba mengalihkan dengan mengajak Ivan jalan-jalan, eh ternyata Ivan sempat bergulung-gulung di rumput taman yang mengelilingi benteng. Lalu kembali lagi ke kelompok. Pak Agung sempat mengkhawatirkan Ivan yang terus merengek minta pulang karena mungkin sudah bosan dan lelah. Berkali-kali Pak Agung menanyakan tentang Pak Bowo. Ivan juga sempat menarik Mbak Nadin, mengajaknya berkeliling bersama Pak Agung juga. Eh tiba-tiba Pak Agung kembali menghampiri kami dan mengatakan bahwa Ivan hilang. Hah, Ivan hilang????
Bu Della segera turun tangan dan mencari Ivan. Koq bisa???
Waduh, gawat neh…Gimana???
Oh..ehm..ehh ternyata Ivan nggak hilang koq, Ivan sedang bergandengan tangan bersama Mbak Nadin, mereka nampak santai san hepi, rupanya mereka baru saja melihat bendera dan gedung Bank BNI yang nggak jauh dari Benteng Vredeburg.
Lalu merekapun duduk santai di teras museum, sambil menunggu Tia dan Todi yang belum selesai mewarnai gambar.

“Lho, Mbak Tia, warna baju dan celana orangnya kok hitam, biru dan merah? Warna lain juga boleh koq. Mbak Tia mau warna pink?” kata Bu Dewi. “Iya.” Jawab Tia.
Ooh…ternyata Tia belum paham bahwa cat-cat itu boleh dan bisa dicampur-campur sehingga menghasilkan warna lain. Bu Dewipun cepat-cepat mencolek cat dan mencampurnya di gelas plastik. Dan warna pink, hijau muda, biru muda dan cokelat dihasilkan dengan tangan terampil Bu Dewi. Tia jadi lebih semangat mewarnai tong sampahnya yang berjudul Taman hati. Dengan dibantu Bu Dewi, Bu Della dan Pak Catur, Tia semakin semangat mewarnai tongnya. Tia terlihat seperti pelukis professional, lihat saja gaya berpakaiannya, ia pakai t-shirt, celana jeans, topi, dan celemek yang biasa dipakai untuk melukis. Dengan kuas-kuasnya, Tia mulai mewarnai gambar hati dengan warna pink, ada gambar orang sedang duduk di taman, ada yang berdiri bersama temannya, ada gambar kupu-kupu, bunga-bunga, pohon rindang, tong sampah, awan, matahari, semua menjadi sebuah cerita tentang sebuah lingkungan yang indah, bersih dan berseri-seri. Tia melukis sesuai tema yang ditentukan oleh panitia yaitu Psychological Design; Changing Habits. Tia melukis dengan tenang, dan nggak ada suara. Kami mengkondisikan Tia, Todi dan Ivan supaya menghadap ke arah spanduk dan kursi taman yang kebetulan didekat kami nongkrong, sehingga mereka nggak terganggu oleh pemandangan dan distraksi pandangan yang saat itu banyak orang, tong dan lalu lalang fotografer maupun orang-orang yang asyik melihat.

Todi sempat nggak boleh istirahat untuk makan dan minum karena dilarang mamanya. Menurut mamanya, Todi harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Tapi Todi udah ingin makan tuh Bu, lihat Ivan, Tia dan guru-gurunya makan mie ayam dan minum es teller. Dengan dibantu guru-gurunya, akhirnya Bu Dessi mama Todi berhasil dibujuk untuk mengijinkan Todi makan makanan yang dibawa dari rumah. Hmm, makanan khusus ya, karena Todi diet jadi harus membawa makanan dari rumah. Wah, lahap banget makannya Tod!!
Selesai makan, Todi mewarnai tongnya lagi. Ayo, semangat… “Mbak,mbak, tolong dong…pegangin tongnya.” Kata Todi pada Mbak Nadin mahasiswa psikologi UGM yang menjadi sukarelawan magang di Fredofios.
“Pak Catur…jalannya warna apa?”
“Pak Catur, kesini dooong…” kata Todi.
“Pak Catur, sungainya warna hijau.” Kata Todi lagi.
“Lho, sungai koq warna hijau?” tanya Pak Catur.
“Iya, inikan sungainya berlumut.” Jawab Todi.
“Todi ini gambar apa?”
“Ini gambar pipa air.” Jawab Todi disela-sela melukis.
“Ayo Todi, selesaikan dulu nggambarnya.” terdengar suara Bu Dessy.
“Aduh Pak catur, tumpah nih air catnya.” Kata Todi.
“Ivan, jangan ditaruh dipaha, nanti celananya kotor.” Kata Bu Della.
Ivan mencoba mengangkat tong yang sedang dicat.
“Ivan, tong taruh dibawah, nanti celana Ivan kotor.” Kata Bu Della lagi.
“Aaa…..” Ivan ngotot mengangkat tong dan ingin menjadikan tong sebagai alat musik pukul.
Waaah, ternyata disela-sela melukis, banyak terdengar suara-suara obrolan, bercanda, sedikit teriak, pokoknya ramai banget deeh. Belum lagi suara-suara dari peserta yang lain dan musik serta lagu dari panggung hiburan.

Jika dilihat dari jauh, nampak Todi, Ivan dan Tia berbaur dengan para siswa SMP dan SMU yang kebetulan duduk bersama mereka. Nggak ada rasa minder atau malu pada diri Todi, Ivan dan Tia. Masing-masing asyik melukis tong sampah. Begitu juga dengan orang-orang disekeliling mereka, nggak ada yang heran ataupun bertanya mengenai Todi, Ivan dan Tia. Mungkin mereka nggak mengerti kalau Todi, Ivan dan Tia merupakan remaja berkebutuhan khusus. Mereka juga nggak terganggu dengan celotehan ataupun perilaku Todi dan Ivan yang sedikit “unik” dan “lucu.” Meskipun kami membawa papan nama KOMUNITAS SENI AUTIS FREDOFIOS, tapi nggak ada peserta yang bertanya tentang autis.

“Gimana Mbak Tia, capek nggak?”
“Capek.” Jawab Tia sambil tersenyum.
“Senang nggak, ikut Mural tong sampah?”
“Senang.” Jawab Tia sambil tersenyum.

Dan merekapun mendapat sertifikat atas partisipasinya mengikuti Mural 1001 tong sampah.

Rabu, 07 Januari 2009

LAWANG SEWU; Bangunan Tua di Kota Semarang

Netherlans Indische Spoor Weg Maatss Chappy (NIS)

Liburan, ngapain aja yaa....Hmmm, berwisata di kota tua sepertinya menyenangkan. Aku dan keluarga menyempatkan diri berjalan-jalan ke Kota Semarang, kebetulan Nenekku merayakan Natal, berangkatlah aku bersama keluarga menikmati liburan akhir tahun.
Dan tujuan wisataku kali ini ke Lawang Sewu dan Sam Pho Kong.

Inilah cerita tentang Lawang Sewu, bangunan tua yang pernah digunakan untuk acara Uji Nyali sebuah stasiun tv swasta.

Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan tua yang terletak di kota Semarang. Sebuah gedung yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gedung ini berdiri dengan megah di jantung kota Semarang, tepatnya di dekat Tugu Muda. Lawang Sewu, begitulah namanya, dibuat tahun 1903 - 1907 dan resmi digunakan pada tanggal 1 Juli 1907.

Lawang Sewu dibuat oleh arsitek dari Belanda yang bernama Ir. P. De Rieau, sedangkan cetak birunya dibuat di Amsterdam. Karena beliau meninggal, maka pemerintah Belanda menunjuk Profesor Jacob F. Kunkhamer dan BJ Quendag untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu.

Terdapat peristiwa yang mengesankan yang pernah terjadi di gedung ini yaitu peristiwa pertempuran para pemuda Semarang melawan pasukan elite bala tentara Jepang yang tergabung dalam pasukan Kido Buati. Peristiwa ini terjadi tanggal 14 Oktober 1945 - 19 Oktober 1945, dan terkenal dengan peristiwa Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang. Dalam pertempuran ini telah terjadi pertumpahan darah, banyak pemuda Semarang yang menjadi korban terutama Angkatan Muda Kereta Api (AMKA).

Pertempuran yang terjadi sangat mengerikan kala itu, sehingga ada 5 jenazah yang tidak sempat dimakamkan di pemakaman umum. Kemudian kelima jenazah tersebut terpaksa dimakamkan di halaman gedung Lawang Sewu. Para korban tersebut adalah Noersam, Salamoen, Roesman, R.M Soetarjo dan RM. Moenardi.
Pada tahun 1975 kelima kerangka tersebut di pindahkan ke Makam Pahlawan "Giri Tunggal" Semarang.

Lawang Sewu sendiri berada di jantung ibukot Jawa Tengah yang dulu berfungsi sebagai stasiun kereta api kota atau trem kota atau lebih dikenal TREM BODJONG. Gedung tua ini dinamakan Lawang Sewu karena pintunya sangat banyak. Saya tidak sempat menghitungnya saat saya berkunjung kesana pada hari Minggu (28/12). Lawang Sewu dalam bahasa Indonesia artinya pintu seribu.

Bangunan ini cukup megah dan luas, dengan dua lantai, terdapat banyak ruangan serta pintu, Lawang Sewu memiliki tembok-tembok yang sangat tebal, bergaya arsitektur Belanda. Jika kita masuk melalui pintu utama, kita akan bertemu sebuah ruangan yang cukup luas. lalu kita masuk lebih ke dalam lagi terdapat tangga dan diujung tangga kita dapat melihat kaca hias dengan ornamen seorang ibu menggendong anak bayi dan seorang wanita di depannya. Di dalam gedung ini terdapat sebuah halaman yang sangat luas dengan 2 pohon di dekat bangunan yang berdiri di halaman. Dan dibagian belakang terdapat ruang bawah tanah yang cukup gelap. Disana terdapat beberapa ruangan yang dulunya digunakan sebagai ruang tahanan dan tempat pemenggalan kepala.

Jika kita perhatikan, gedung Lawang Sewu ini tampak kurang terawat. Lantainya kotor dan berdebu, begitu pula dinding dan semua pintu. Semua ruangan terasa lembap dan gelap karena tidak ada penerangan disana. Dihalamannyapun rumput tumbuh dengan liar sehingga menambah kesan bangunan tua yang kurang terawat. Namun hal itu justru menambah daya tarik bagi orang-orang yang gemar berwisata di kota tua. Dan bagi orang-orang yang penasaran dengan cerita serem dapat menguji nyalinya dengan berwisata di ruang bawah tanah. Cukup dengan membayar Rp. 6000, kita dapat menyewa sepatu boots dan senter, serta ditemani seorang pemandu. Sedangkan untuk masuk ke gedung ini kita membayar tiket seharga Rp.3000.

Perasaanku saat masuk kesana, awalnya deg-deg kan. Khawatir terjadi penampakan makhluk yang pernah muncul di acara uji nyali. Tapi dengan berbesar hati dan beramai-ramai, aku dapat mengalahkan rasa takutku. Tapi gimana kalau malam hari ya... Hmmm, kayaknya perlu dicoba lagi deeh. Karena aku datang ke Lawang Sewu pada siang hari.

Rabu, 10 Desember 2008

Diffable Fair ; Ajang Untuk Mengembangkan Bakat


Sabtu (6/12) pagi hari yang cerah. Langit biru dan burung berkicau menyambut datangnya pagi. Bebarapa hari hujan seolah pergi meninggalkan kota Jogja, Tuhan memberi hari yang cerah untuk para diffable yang akan mengikuti berbagai perlombaan pada diffable fair yang diadakan oleh para mahasiswa PLB UNY dalam rangka memperingati hari penyandang cacat sedunia tanggal 3 Desember. Gedung rektorat UNY tampak gagah dan siap menerima sejumlah diffable dengan berbagai keistimewaan. Air mancur di depan gedung itupun menambah kesegaran pagi.
Satu persatu para siswa diffable dari berbagai SLB di Jogja berdatangan dengan semangat dan wajah berseri. Beberapa SLB tersebut yaitu SLB negeri I, SLB Negeri II, SLB Yapenas, SLB Autis Fredofios, SLB Autis Bina Anggita, dan masih banyak lagi yang lain. Para guru datang mengantar dan memberi semangat anak didiknya. Mereka begitu semangat melatih, membimbing dan mengembangkan bakat-bakat anak didik/siswanya. Mulai dari melatih membaca puisi, melatih menari, menyanyi, bermain musik, menggambar dan fashion show. Mereka juga merias wajah anak didiknya, mencarikan kostum dan membawakan minum atau makanan bagi para siswanya. Kemudian mereka juga rela menuntun siswanya yang tidak dapat melihat, mendorongkan kursi roda bahkan ikut bergaya saat lomba fashion show.
Pagi itu seorang anak duduk di kursi rodanya, didorong oleh gurunya yang terlihat berwibawa dengan seragam batiknya, anak itu akan mengikuti lomba baca puisi. Kemudian beberapa siswa datang lagi, mereka sedang bercakap-cakap tanpa suara, hanya tangan mereka yang bergerak, rupanya mereka akan mengikuti lomba menari. Mereka sudah memakai kostum menari tradisional dan terlihat cantikcantik.



Seorang gadis kecil memakai baju seragam SD datang bersama guru-gurunya dan beberapa temannya, ia tidak dapat melihat. Gadis itu berjalan pelan-pelan menapaki tangga. Sementara kakak kelasnya datang memakai kacamata hitam. Oh, ternyata mereka akan mengikuti lomba menyanyi. Dan mereka sangat kompak. Mereka saling mendukung, gadis cilik berseragam SD itu menyanyikan lagu yang berjudul “Laskar Pelangi.” Sementara si kakak berseragam SMP bermain keyboard mengiringi gadis kecil menyanyi dengan penuh penghayatan. Beberapa orang sempat menitikkan airmata ketika mendengarkan si gadis kecil menyanyi.

Lalu seorang gadis kecil memakai rok merah dan berbaju putih, rambutnya bergelombang, cantik dan matanya melihat ke segala arah. Ketika musik terdengar, ia berjalan bersama gurunya menapaki panggung fashion show. Rupanya gadis itu seorang gadis autis. Lain lagi dengan Cindy, siswa dari SLB Autis Bina Anggita, dia juga autis, usianya kira-kira 14 tahun, dia sudah remaja. Dengan gaya genit, Cindy berjalan bak seorang model terkenal.

Terkadang kita kurang menyadari bakat-bakat yang ada pada diri kita. Mungkin kita hanya menjalani hidup dengan rutinitas tanpa mengembangkan bakat-bakat yang ada pada diri kita. Namun, ternyata para diffable yang mengikuti diffable fair pagi itu mampu menunjukkan bakat-bakatnya dan mengembangkannya serta mengadu bakat dengan siswa yang lain. Setiap anak pasti punya bakat-bakat yang harus terus diasah dan dikembangkan. Tugas guru dan orangtua untuk selalu memberi motivasi, fasilitas dan kesempatan bagi anak-anaknya agar bakat-bakat itu menjadi optimal. Melalui diffable fair para mahasiswa memberikan wadah bagi para diffable untuk beradu bakat dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Dengan mengikuti perlombaan-perlombaan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan keberanian serta pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Meskipun para diffable memiliki keterbatasan fisik dan mental, namun mereka memiliki kemampuan dan bakat-bakat yang luar biasa.